ARIO WIRAWAN: ANAK MATARAM YANG DIABADIKAN SEBAGAI NAMA RUMAH SAKIT DI JAWA
Berita Baru, Kolom – Di tengah perjuangan para tenaga kesehatan untuk berjibaku melawan pandemi Covid-19, tak sedikit jumlah dokter yang gugur. Patriotisme serta pengorbanan para dokter ini mengingatkan akan sejumlah dokter yang tulus mendarma-bhaktikan kehidupannya bagi kemanusiaan. Salah satunya adalah seorang putra Mataram yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di Jawa.
Tentu tak sembarang orang bisa diabadikan namanya sebagai nama sebuah rumah sakit negara yang diputuskan melalui beleid resmi pemerintah pusat. Apalagi ini merupakan Rumah Sakit Kelas A yang menjadi rujukan nasional.
Dibutuhkan sebuah catatan prestasi yang luar biasa bagi sang empunya nama untuk diabadikan seperti itu. Istilahnya, above and beyond the call of duty. Orang yang mengabdi dan berdedikasi jauh melampaui panggilan tugasnya. Dan putra Mataram ini berhasil melampauinya.
Bagi mereka yang mengenalnya lebih dekat, capaian tersebut tidaklah begitu mengejutkan. Tanda-tanda itu sudah menampakkan jejaknya sejak dini.
Dari SD hingga SMA, Ario Wirawan – begitu nama tokoh kita ini – selalu tampil sebagai juara kelas dengan nilai sempurna, selalu menjadi lulusan terbaik. Namun jangan bayangkan ia seorang ‘nerd’, seorang kutu-buku berkacamata tebal yang kaku, introvert dan tidak bisa bergaul. Ia justru menjadi antithesis dari stereotype kutu buku seperti itu.
Ia adalah seorang intelektual yang sangat gaul. Seorang aktivis yang terjun langsung di lapangan. Posturnya tinggi besar, good-looking, flamboyan dan tentu saja pandai menyampaikan gagasan.
Tiga kombinasi sempurna yang dimilikinya membuat Ario Wirawan dengan mudah menjadi mahasiswa idola kala itu yang terkenal dengan adagium “ Buku, Pesta dan Cinta”. Persis seperti film arahan sutradara Ami Prijono yang bertajuk Cintaku di Kampus Biru yang merupakan adaptasi dari novel populer Ashadi Siregar.
Banyak wanita yang menggandrunginya. Seperti anak muda lainnya, ia juga menghadiri pesta-pesta. Dan buku, tidak perlu dipertanyakan lagi. Semua literatur politik maupun karya sastra yang berat dilahapnya dengan mudah.
Tak hanya pesta yang dihadirinya, namun juga beragam aksi demonstrasi mahasiswa. Sebagai seorang aktivis, jalanan adalah kehidupannya dengan narasi perlawanan mahasiswa sebagai potret di tahun 70-an, sebelum NKK-BKK (1977-1978) diberlakukan di kampus-kampus.
Aktifitasnya dalam gerakan politik mahasiswa di Surabaya menyebabkannya akrab sebagai tahanan aparat. Tak heran lagu perjuangan para aktivis semacam ‘We Shall Over Come’ yang kerap didendangkan Joan Baez, menjadi favoritnya, agar tak mudah menyerah.
Ario Wirawan melewati masa remajanya di SMPN 1 Mataram ketika masa PKI 1965 berlangsung. Ia sudah terbiasa melewati masa-masa pergolakan seperti itu, termasuk peristiwa Permesta. Beruntungnya tak banyak gejolak yang terjadi di SMP 1 pada saat itu karena tak ada oknum guru maupun murid yang terlibat.
Dari SMP 1, ia melanjutkan ke SMA 1 Mataram yang pada saat itu masih berada di Cakranegara. Semasa di bangku SMA ini banyak sekali aktifitas yang dilakukannya. Salah satunya adalah mendirikan sebuah radio siaran amatir. Lupa namanya, namun ini adalah radio amatir pertama di Mataram.
Karena merupakan radio amatir pertama, tentu digemari oleh para remaja. Setiap malam ia menggawangi radio tersebut dan terkadang merangkap sebagai penyiar. Teman-teman SMA 1 Mataram lainnya juga turut menjadi penyiar disana.
Setelah tamat dari SMA 1 Mataram pada tahun 1968, Surabaya langsung menjadi tujuannya. Ketika itu untuk menuju Surabaya ada dua pilihan, melalui pelabuhan Ampenan dan dilanjutkan dengan bis malam Kembang Ekspress dari Denpasar, atau terbang langsung dari Rembiga ke Surabaya dengan pesawat DC-3 Zamrud.
Ia yang sejak kecil memang selalu tampil parlente, memilih Zamrud. Kebiasaannya tampil flamboyan ini membuat teman-temannya sangat mudah menebak apa merek kemeja maupun sepatunya.
Arrow adalah sebuah merek yang sangat mewah di kala itu. Kemeja pabrikan New York, Amerika Serikat, itu juga merupakan kegemaran Bung Karno. Dan ini menjadi merek kemeja Ario Wirawan sehari-hari. Demikian pula sepatu yang digunakan Kickers Perancis atau Clarks buatan Inggris dan minyak wangi Tosca buatan Jerman.
Stop! Jangan salah menduga dulu. Seluruh atribut yang digunakan tersebut, berbeda 180 derajat dengan apa yang dilakukannya di lapangan. Seolah ia malah menyatukan bumi dan langit. Dengan penampilan yang menawan itu ia justru tanpa canggung terjun ke tengah kaum papa, bergaul dengan para tukang becak.
Sebagai pemuda cerdas bermodal nilai rapor dan ijazah sempurna, putra Mataram ini dengan mudah berhasil lulus tes hampir di seluruh perguruan tinggi negeri yang menjadi favorit saat itu. Dari UI, ITB, UGM hingga ITS. Namun karena banyak teman-teman dari Mataram yang kuliah di Surabaya, akhirnya ITS jurusan arstitektur menjadi pilihannya.
Ia mengambil jurusan arsitektur karena kegemarannya menggambar. Di Mataram ia kerap mengajari teman-temannya menggambar dan membuat komik. Menurut mereka yang pernah diajar membuat komik, gambar ilustrasinya sangat bagus.
Setahun kuliah di jurusan ini, tahun berikutnya ia banting setir memenuhi harapan orang tuanya untuk menjadi dokter. Kembali dengan mudah ia menembus tes Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tahun 1969.
Sekalipun kos-nya terpisah dari anak-anak Mataram, namun karena jiwa kepemimpinan serta semangat berbagi ilmu pengetahuannya, ia tetap menjadi payung bagi teman-temannya yang kebanyakan anak para tokoh di Mataram, seperti Miadi anak dari Bupati Lombok Barat, Pak Said, juga Muhibin anak dari Haji Murad pemilik rumah makan Taliwang dan lain sebagainya.
Bersama Muhibin, selain membantu mengurus perdagangan sapi, Ario Wirawan juga merintis usaha pengiriman ekspedisi udara Surabaya – Mataram. Berbagai jenis usaha juga dilakoninya, hanya untuk bisa berbagi dengan teman-temannya dan menolong orang lain.
Surabaya memang banyak menempa kehidupannya. Tak sekedar menjadi aktifis pergerakan, ia juga turut merintis berdirinya sebuah universitas swasta di Surabaya.
Bersama sekelompok Dosen Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) serta beberapa tokoh masyarakat seperti Moh. Noer (mantan Gubernur Jawa Timur), Drs. Muhadji Widjaja (mantan Wali kotamadya Surabaya), Brigjen. Blegoh Soemarto (mantan Komandan Korem 084 Bhaskara Jaya), Putra Mataram ini turut serta mendirikan Universitas Narotama pada tahun 1981. Ia sempat menjabat sebagai Pembantu Rektor.
Dengan kiprah seperti itu, sudah sepantasnya ia memiliki sesuatu. Namun karena idealismenya, ia tetap asyik berjalan dengan cita-citanya.
Ketika selesai kuliah dan ditempatkan di Puskesmas Arosbaya, Madura, ia membuat masyarakat seperti kembali ke jaman baheula. Karena menolak dibayar dan memberi pelayanan gratis ke masyarakat, banyak masyarakat yang datang ke Puskesmas dengan membawa hasil perkebunan seperti singkong, pisang maupun telur ayam, gula dan kopi. Mereka seolah kembali ke era barter.
Alhasil, Puskemas dipenuhi oleh berbagai kebutuhan pokok. Yang menikmatinya adalah para pegawai Puskesmas. Nama Dr. Ario Wirawan masih dikenang hingga saat ini di kalangan masyarakat Arosbaya.
Setelah menyelesaikan spesialisasinya di Unair, ia ditempatkan di Rumah Sakit Paru Ngawen Salatiga. Disini kiprahnya lebih luas lagi.
Hal-hal yang dulu biasa dilakukan di Puskesmas Arosbaya, masih tetap dilakukan. Seperti menutup pintu atau menolak didatangi oleh sales obat. Ia tidak ingin didikte oleh pabrikan farmasi dan membuat pasien mahal membeli obat. Ia terbiasa memberikan pasien obat generik, sesuai dengan kebutuhan.
Ada satu kisah menarik, dimana seorang pasien kaya datang ke RS Ngawen dan diberikan resep obat generik yang murah. Karena harga obat tersebut tak sampai sepuluh ribu rupiah, oleh pasien kaya tersebut obat ini dibuang dan beralih ke dokter lainnya. Oleh dokter lain, diberi resep mahal yang justru membuat sakitnya semakin menjadi.
Kisah ini terkuak karena pasien kaya tersebut opname di Rumah Sakit Elizabeth Semarang, di mana Dr. Ario Wirawan juga bertugas. Oleh Dr. Ario Wirawan si pasien kembali diberikan obat generik tersebut dan sembuh. Jadi, anda jangan tidak percaya pada khasiat dari sebuat obat generik walaupun murah harganya.
Tak selalu Dr. Ario Wirawan memberikan obat generik, tergantung pada kebutuhan pengobatan pasiennya. Jika pun harus memberikan obat yang relatif mahal namun benar-benar manjur, alih-alih menerima bayaran, ia selalu memberikan uang pribadinya kepada para pasiennya untuk menebus obat tersebut.
Ia juga rajin merogoh kantongnya sendiri untuk membayar ongkos transportasi dan laboratorium kepada para pasien yang ia berikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan lab. Dengan pola seperti ini, tak menerima bayaran namun justru memberi uang kepada pasiennya untuk membeli obat dan check lab, tentu saja penghasilannya sebagai pegawai negeri tidak mencukupi.
Di balik penampilannya yang selalu rapi dengan atribut bermerek, orang yang mengenalnya menyebutnya sebagai ‘Dokter Paling Miskin Sedunia’. Bagaimana tidak, sekian tahun menjadi dokter spesialis, bahkan hingga akhir hayatnya, sepetak rumah pun tidak punya. Ia beserta istri dan dua orang anaknya menumpang di rumah keluarga yang meminjaminya rumah.
Mobilnya? Jangan ditanya, hanya sedan bekas butut yang usianya sudah lebih dari 10 tahun sejak tahun pabrikannya.
Kalau anda tidak pernah melihat dokter spesialis berkeliling naik sepeda motor, anda bisa melihat Dr. Ario Wirawan dengan santai naik sepeda motor mendatangi teman-temannya.
Keberpihakannya kepada kaum papa, menyebabkannya tak merasa risih untuk makan di warung kaki lima. Ketika ditanya, mengapa tidak makan di restoran saja, jawabnya mudah. Biar bisa membantu melariskan dagangan orang kecil.
Ia tak pernah mengeluh dengan situasi ini. Sebab ia sadar betul dengan konsekuensi profesinya. Menurutnya, kalau mau kaya jangan jadi dokter. Tapi jadilah pengusaha.
Baginya, menjadi dokter identik dengan pengabdian dan pengorbanan. Tak layak mengambil uang dari orang susah, namun justru harus dibantu. Untuk itu ia rela tidak punya apa-apa.
Sebenarnya, untuk menghidupi keluarganya yang membutuhkan biaya, ia telah berusaha merangkap menjadi pengusaha. Gagasannya, profesi dokter murni untuk menolong orang, sementara uang dihasilkan dengan kerja sampingan sebagai pengusaha.
Sambil menjalani profesi dokter, berbagai usaha telah dicobanya. Namun gagal karena berbagai alasan, termasuk karena uang usahanya juga tersedot untuk membantu pasien.
Ketika menjadi dokter spesialis di RS Ngawen, di akhir pekan ia berboncengan naik sepeda motor Semarang – Cirebon, keliling menawarkan hose (selang tekanan tinggi) yang menjadi bisnis barunya. Kini setelah ia tiada, perusahaan hose milik sahabatnya itu tumbuh besar dan menggurita ke berbagai daerah.
Kehadirannya di RS Ngawen memang memberi warna baru. Setiap pagi, briefing selalu dilakukan sebelum para tenaga kesehatan mulai bertugas melayani. Mereka selalu disegarkan dengan tambahan ilmu baru dan semangat pelayanan.
Dr. Ario Wirawan memang tak pernah berhenti meningkatkan pengetahuan kedokterannya. Ia rajin membaca jurnal ilmiah maupun buku-buku terbitan terbaru di luar negeri. Yang menjadi sasaran adalah adik-adiknya yang semuanya telah mulai mentas, dimintai uang untuk membeli buku-buku dari luar negeri tersebut karena ia berstatus ‘Dokter Termiskin Sedunia’.
Sebagai yang tertua dari tujuh bersaudara, Dr. Ario Wirawan sangat bertanggung jawab terhadap pendidikan adik-adiknya. Selain karena menolong dan menggratiskan pasiennya, penghasilannya juga kembang-kempis karena membantu membiayai pendidikan adik-adiknya.
Berkat sentuhannya, perlahan-lahan RS Ngawen yang dulu lebih dikenal sebagai sanatorium berubah menjadi rumah sakit modern. Rumah sakit peninggalan Belanda ini awalnya memang diperuntukan bagi mereka yang mengalami gangguan paru-paru, utamanya tuberculosis.
Karena ‘wabah putih’ ini mudah menular, pada tahun 1840 seorang dokter spesialis paru asal Inggris, George Bodington, menggagas sanatorium dalam esainya yang bertajuk ‘On the Treatment and Cure of Pulmonary Consumption’.
Perkembangan dunia kesehatan di Barat juga mempengaruhi dunia kedokteran di Hindia Belanda. Tahun 1900-an berbagai sanatorium telah dibuka di berbagai tempat dataran tinggi berudara sejuk, termasuk di Ngawen Salatiga ini yang berada di ketinggian 800 meter dengan suhu 18 -29 C.
Berdiri di tahun 1934, sanatorium ini banyak didominasi oleh warga keturunan Belanda. Dapat dimaklumi, wilayah Salatiga, Ambarawa, dan sekitarnya banyak ditinggali oleh warga negara Belanda, karena merupakan daerah konsentrasi militer Belanda dengan status sebagai daerah gemeente atau kota praja.
Pada tahun 1999, di sebuah akhir pekan bulan Oktober, ketika tengah libur bertugas di RS Ngawen, saat tengah mengikuti kegiatan konferensi yang digelar oleh sebuah organisasi buruh di Surabaya, serangan stroke menerjang. Dr. Ario Wirawan tumbang di tengah memikirkan gagasan untuk rakyat kecil.
Setelah beberapa hari dirawat di ICU, putra Mataram ini wafat di kota keduanya, Surabaya. Dan dimakamkan di kota ketiganya, Yogyakarta. Iring-iringan bus dari kolega dan teman-teman seperjuangannya mengantarkan jenazahnya dari Surabaya ke Yogyakarta.
Untuk menghormati jasa-jasa serta perjuangannya di bidang kesehatan masyarakat, 3 tahun setelah kepergiannya, pada tanggal 26 September 2002, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, RSTP “Ngawen” Salatiga berubah nama menjadi Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan.
Siapa bilang Mataram tidak bisa menembus panggung nasional? Terbukti putra Mataram yang satu ini namanya justru diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit kelas A di Jawa dan menjadi rujukan nasional.
Di Mataram memang tidak ada nama Jalan Dr. Ario Wirawan untuk mengenangnya. Mungkin lebih baik kita mengenangnya dengan cara yang berbeda: mengenang tauladannya.
Satu pesan Dr. Ario Wirawan yang harus kita ingat, dan patut ditanamkan kepada anak cucu kita semua: “Kalau mau kaya, jangan jadi dokter. Jadilah pengusaha. Sebab profesi dokter adalah lahan pengabdian dan pengorbanan bagi kemanusiaan.”
Selamat beristirahat ‘Dokter Termiskin Sedunia’.
Catatan Khusus:
ARIO WIRAWAN: ANAK MATARAM YANG DIABADIKAN SEBAGAI NAMA RUMAH SAKIT DI JAWA
Penulis : Djoko Marsono
Sumber : Lombok Heritage Society
Date : 12 Juli 2021