Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

H. LALU NASIB AR: MAESTRO WAYANG SASAK
H. Lalu Nasib AR | inibaru.id

H. LALU NASIB AR: MAESTRO WAYANG SASAK



BAWASLIU Lombok Tengah

“We are only puppets, our strings are being pulled by unknown forces.” ~ Georg Buchner

Apa yang dikatakan oleh penulis drama dan prosa Jerman di atas sama seperti apa yang dirumuskan oleh H. Lalu Nasib AR. Hanya saja yang belakangan lebih tegas menyebut kekuatan yang menggerakkan kita adalah Tuhan.

Menurut Lalu Nasib wayang berarti bayangan. Sehingga menonton wayang itu ibarat menonton bayangan diri kita sendiri. Jadi wayang adalah miniatur kehidupan manusia, di mana wayang dikendalikan oleh dalang, sementara manusia ditentukan oleh Tuhan.

Filosofi wayang inilah yang digunakan oleh sang Maestro Wayang Sasak ini untuk membuka pertemuan, ketika saya datang mengunjungi kediaman beliau di Dusun Perigi, Desa Gerung Selatan, Lombok Barat, ditemani oleh L.O. LHS. Dengan filosofi tersebut, kehadiran saya siang itu seolah telah menjadi ketentuan yang di atas. Tak heran jika beliau menerima saya dengan segala kerendahan hati dan kisah yang mengalir renyah.

Beliau bertutur mulai belajar mendalang sejak duduk di kelas 5 Sekolah Rakyat (SR) pada 1957. Bersama teman-temanya ia bermain wayang-wayangan dengan membuat wayang dari kardus bekas. Karena memiliki ingatan yang begitu kuat, ia dapat mengingat jalan cerita wayang yang kerap ditonton di lapangan di desanya.

Dengan kata lain, ia belajar mendalang secara otodidak. Tanpa guru. Ini seusai dengan filosofi wayang itu sendiri bahwa wayang ditentukan oleh dalang, sementara nasib ditentukan oleh Tuhan.

Sebagai orang tua, pasangan Lalu Aruman dan Baiq Mustiare kurang berkenan jika putra semata wayangnya ini menjadi dalang. Oleh sebab itu, untuk menjauhkan Lalu Nasib dari dunia wayang, setelah tamat SR kedua orang tuanya mengirimnya ke Sekolah Pelayaran Ampenan.

Mungkin orang tua beliau berpikir, setelah tamat, Lalu Nasib akan jadi pelaut dan berlayar menjauhi dunia pewayangan. Namun kembali ke filosofi wayang, garis tangan manusia diatur Tuhan dan tak mungkin dihindari.

Alih-alih jauh dari dunia wayang, di Sekolah Pelayaran Ampenan Lalu Nasib justru mendapat teman sekelas yang merupakan anak dalang dari Yogyakarta. Ilmu pedalangan pun semakin mengental dalam dirinya dan bertekad menjadi dalang setelah selesai sekolah.

IMPROVISASI MENYELAMATKAN WAYANG

Semula semuanya tidak berjalan mudah. Sebab, penontonnya hanya dari kalangan tua yang mengerti bahasa Jawa Kawi saja. Sebagaimana kita ketahui, lelakon Wayang Sasak memang berasal dari Serat Menak yang menggunakan bahasa Kawi.

Setelah menyadari pangkal persoalannya, Lalu Nasib pun berimprovisasi dengan memasukan bahasa lokal yang dipahami segala usia dan golongan. Di luar dugaan, semua lantas berubah menjadi mudah, penonton mengalir deras.

Jika meminjam istilah David D Harnish dalam ‘Defining Ethnicity, (Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among The Balinese of Lombok’, yang menyebut kepindahan Ni Made Darmi ke Lombok menjadi tonggak besar dalam sejarah performing arts, maka inovasi Lalu Nasib ini pun sesunguhnya merupakan tonggak besar dalam sejarah seni pertunjukan.

Bagaimana tidak, Wayang Sasak yang nyaris kehilangan penggemar, tiba-tiba dengan inovasi serta improvisasi Lalu Nasib menjadi terselamatkan, dan kembali mendapat tempat di hati masyarakat, terutama kawula muda. Wayang Sasak pun kembali lestari.

Tahun 1968 Lalu Nasib diminta mengisi acara rutin di RRI Mataram, setiap malam minggu, di akhir bulan. Yang menginisiasi gagasan kebudayaan ini adalah kepala RRI saat itu, Hadi Suwarno.

Dari acara rutin bulanan ini, panggung Lalu Nasib juga bergulir ke rutin tahunan. Saat itu untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI, peringatan 17 Agustus-an, pemerintah daerah mengadakan Pasar Malam di Lapangan Mataram dengan tajuk Pameran Pembangunan Daerah NTB. Agar lebih meriah, Lalu Nasib diberi panggung. Sejak tahun 1969 Lalu Nasib rutin mengisi acara Pasar Malam ini.

Pengunjung Pasar Malam ini datang dari berbagai pelosok Lombok. Dapat dimaklumi, karena minimnya sarana hiburan di Lombok pada saat itu.

Di Pasar Malam kita bisa menyaksikan berbagai stands yang menampilkan acara kesenian, hiburan maupun ketangkasan serta hasil pembangunan pemerintah NTB. Karena pengunjungnya datang dari berbagai penjuru Lombok, inilah yang membuat nama Lalu Nasib semakin dikenal di seantero pulau dan mulai dapat undangan tampil di mana-mana.

Melihat antusiasme masyarakat terhadap pertunjukan wayang Lalu Nasib, pemerintah pun tergerak menggunakan Lalu Nasib dengan wayangnya sebagai media sosialisasi/penerangan program pemerintah, dari sosialisasi Pancasila, program Keluarga Berencana, pencegahan penyakit menular, penghijauan hutan dan lain sebagainya.

WAYANG SEBAGAI TONTONAN DAN TUNTUNAN

Antusiasme penonton dan pemerintah ini menunjukkan kebenaran dari filosofi wayang yang diemban Lalu Nasib, yakni wayang sebagai tontonan sekaligus juga tuntunan. Hakikatnya, wayang bisa menghibur namun juga dapat mengarahkan orang ke jalan yang benar.

Oleh sebab itulah, sekalipun ditanggap oleh pemerintah untuk mengkampanyekan program mereka ke tengah masyarakat, namun Lalu Nasib tak kehilangan sikap kritisnya terhadap pemerintah.

Seperti Wayang Jawa yang menyentil melalui ‘goro-goro’, lalu nasib juga menyentil lewat punakawan. Empat tokoh punakawan Wayang Sasak yang selalu menghibur adalah Amaq Ocong, Amaq Amet, Amaq Baok, dan Inaq Itet. Melalui keempat punakawan inilah Lalu Nasib dengan leluasa menyuarakan kritik serta pesan moral kepada pemerintah, pejabat atau aparatur yang kurang baik kinerjanya.

Jadi, keliru jika ada yang mengatakan bangsa kita tidak akrab dengan kritik. Apa yang dilakukan Lalu Nasib beserta para dalang lainnya, setidaknya telah menjawab hal itu. Bangsa ini telah memiliki akar budaya kritik beserta etikanya.

Melalui karyanya bertajuk ‘Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama’, James L. Peacock mengagumi budaya dan etika kritik tersebut. Peacock menyimpulkan bahwa bangsa kita sejatinya sejak dahulu telah mengenal budaya kritik dan tak merasa alergi dengan kritik.

Yang membuat orang gerah adalah kritik tersebut dilakukan tanpa etika. Oleh sebab itulah menurut Lalu Nasib, dalam wayang juga ada kode etik dalam mengkritik, yakni tidak boleh menyebut nama dan jabatan. Melalui humor serta kode etik yang dipegang, Lalu Nasib bisa melontarkan kritik tanpa membuat telinga orang yang dikritik menjadi merah.

Kode etik yang dipegang Lalu Nasib ini mirip dengan etika politik yang dibentangkan Paul Ricoeur dalam Ethique et Morale. Menurut Ricoeur salah satu tujuan etika politik adalah hidup baik bersama dan untuk orang lain. Oleh karena itulah kritik harus dilakukan dengan santun agar tak ada orang lain yang kehilangan kehormatannya.

PEMBAWA BERKAH BAGI RAKYAT KECIL

Selain humor-humor khasnya yang disampaikan melalui para punakawan, Lalu Nasib memang punya keunikan dan kharisma yang mampu menghipnotis penontonnya. Mereka rela menanti hingga jam 10 malam, saat pertunjukan dimulai dan begadang hingga usai di dini hari. Sebelum jam pertunjukan dimulai, orang sudah berebut kapling tempat duduk di atas rumput.

Berbagai kisah unik pun dapat kita dengar dari para penonton guna mempertahankan tempat duduknya yang tanpa kursi, tanpa nomor maupun tanpa bayar tersebut. Mereka terpaksa kencing di tempat atau membawa kantong plastik agar tak kehilangan kaplingan. Tak heran ketika pertunjukan usai, bau pesing semerbak di lapangan.

Banyak diantara penonton yang juga memilih tidur di sekitar panggung ketika pertunjukan usai. Sebab mereka tak berani pulang ke rumah saat dini hari. Maklum, lampu penerangan di jalan masih sangat minim dan orang takut akan isu hantu serta berbagai mahluk halus lainnya.

Lalu Nasib memang merupakan sebuah fenomena di jagad seni pertunjukan. Ia menjadi sebuah magnet yang tak hanya menyedot penonton yang haus hiburan, namun juga menarik para pedagang kecil yang dahaga akan kesempatan mengadu peruntungan.

Dimanapun pertunjukkannya digelar, keramaian selalu tercipta, sebuah pasar kaget terbentuk. Berbagai pedagang kaki lima bermunculan. Dari pedagang bakso, ubi goreng, keripik, kacang-kuaci, pedagang mainan anak-anak hingga pedagang obat turut meramaikan perhelatan sang maestro. Kehadiran Lalu Nasib memberikan berkah rejeki bagi pedagang kecil.

TOPIK PENELITIAN DAN KOLEKSI YALE UNIVERISTY

Tidak hanya penonton dan pedagang kecil saja yang menanti sang Maestro, para peneliti pun antri ingin belajar, melakukan penelitian dan menjadikan beliau sebagai nara sumber. Sudah banyak skripsi yang ditulis tentang sang Maestro beserta Wayang Sasak-nya.

Tak hanya mahasiswa dalam negeri, dari luar negeri pun banyak yang ingin menimba ilmu dari sang Maestro. Sebut saja mahasiswi Jepang bernama Masumi yang nyantrik selama tiga bulan pada tahun 1992.

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa nama sang Maestro sangat mudah ditemukan dalam jurnal ilmiah maupun buku-buku asing. Banyak peneliti asing yang menjadikan Lalu Nasib sebagai topik penelitian.

Sebut saja Bernard Arps dengan karyanya ‘Flat Puppets on an Empty Screen, Stories in the Round Imagining Space in Wayang Kulit and the Worlds Beyond”. Begitu juga Judith Ecklund dalam ‘Paradoxes and Realities of Wayang Among the Sasak of Lombok’. Atau Walter Angst dengan ‘Wayang Indonesia; Die Phantastische Welt des Indonesischen
Figurentheaters’.

Yang disebut terakhir, Dr. Walter Angst, paling banyak mengkoleksi wayang milik Lalu Nasib. Ahli primatology asal Swiss ini secara rutin mengunjungi Lalu Nasib dan mengkoleksi wayangnya.

Walter Angst wafat pada 2014 dan saudaranya, Sir Henry Angest, menyerahkan seluruh koleksi wayang kakaknya kepada Yale University Art Gallery di tahun 2016. Jadi kalau anda tertarik untuk melihat wayang Lalu Nasib di masa-masa awalnya, anda bisa datang ke Yale Univeristy di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat.

Dengan penyerahan itu, koleksi wayang Indonesia terbesar berada di Yale University. Ada 166 set lengkap dari Wayang Jawa, Bali dan Lombok yang dihibahkan oleh Sir Henry Angest. Setiap set terdiri dari 50 hingga 250 individu wayang.

Terkait koleksi ini kita bisa membaca karya Matthew Isaac Cohen yang berjudul ‘The Dr. Walter Angst and Sir Henry Angest Collection of Indonesian Puppets: The Structure of the Conjuncture’. Foto sepasang wayang di kanan bawah dalam foto ilustrasi tulisan ini adalah salah satu koleksi Wayang Sasak tua milik Lalu Nasib dan kini berada di Yale University Art Gallery.

Tak hanya ahli pewayangan yang tertarik meneliti tentang Lalu Nasib, namun juga para ethnomusikolog. Seperti Philip Yampolsky melalui ‘Addendum; Observations From a 1996 Visit to Lombok, and Notes on the Music and Stories of Wayang Sasak’. Demikian pula dengan David D. Harnish dalam ‘Worlds of Wayang Sasak: Music, Performance, and Negotiations of Religion and Modernity’.

Dalam laporan penelitian tersebut David D. Harnish mendeskripsikan instrumen-instrumen musik yang digunakan dalam Wayang Sasak. Serta penjelasan mengenai proses persiapan pementasan dan elemen-elemen produksi yang terlibat.

Musik atau gamelan yang mengiringi pertunjukan Wayang Sasak memang unik. Tak seperti Wayang Jawa, Wayang Sasak menggunakan instrumen lebih sedikit, seperti ceng-ceng, suling, tawa-tawa, kendang, pleret dan kempul.

Jika dalam Wayang Jawa menggunakan penyanyi wanita atau pesinden dan penyanyi pria yang disebut wira swara, dalam Wayang Sasak peran itu dimainkan oleh dalang yang sekaligus sebagai konduktor. Oleh sebab itulah sejumlah peneliti mengkategorikan Wayang Sasak sebagai seni pertunjukan teater minimalis.

Kesimpulan sejumlah peneliti yang menyatakan Wayang Sasak sebagai teater minimalis ini mungkin tidak keliru. Sebab, dalam kesehariaanya, selain menjadi dalang Lalu Nasib juga aktif sebagai pemain drama gong dan pencipta lagu tradisional.

MENERIMA PENGHARGAAN NAIK HAJI

Keahlian mendalang serta dedikasinya untuk melestarikan Wayang Sasak mengantarkan sang Maestro menerima berbagai penghargaan. Salah satunya adalah di Bina Graha dari Presiden Suharto pada 1981 lalu. Sebagai hadiah, beliau disuruh memilih mau jalan keliling dunia atau naik Haji dan beliau memilih yang terakhir.

Penghargaan lainnya, berbentuk undangan pentas di berbagai daerah di luar Pulau Lombok. Begitu pula tampil di luar negeri, seperti Belanda.

Nama besar sekaligus ketenaran Lalu Nasib membuat sejumlah partai politik tergiur dan menawarinya menjadi calon DPR-RI. Bahkan ia pernah diminta menjadi pendamping sebagai calon Kepala Daerah. Namun gemerlap jabatan tersebut tak membuat sang Maestro silau dan menolak tawaran tersebut.

Beliau hanya ingin mendedikasikan dirinya bagi dunia seni, bukan politik. Dan yang terpenting, beliau ingin tetap menjadi milik semua orang, bukan golongan tertentu saja. Dengan menjadi dalang, ia menjadi milik semua orang, dari pejabat hingga pedagang asongan, dari generasi blue jeans hingga kaum sarungan, dari Jero Dangkem hingga Beko.

KERISAUAN AKAN MASA DEPAN WAYANG SASAK

Sudah lebih dari setengah abad Lalu Nasib mendalang dan nama besar telah diraihnya. Namun kerisauannya terus membuncah. Ia khawatir dan prihatin akan masa depan Wayang Sasak.

Meski tetap ada, namun intensitas pementasannya jauh berkurang. Di tengah serbuan aneka kesenian serta hiburan modern, tak mudah mempertahankan kesenian tradisional seperti Wayang Sasak. Hal ini diperparah dengan kurangnya keperdulian dari pemerintah daerah untuk dapat merawat dan melestarikan kesenian tradisional ini.

Proses regenerasi dalang maupun penonton memang tidak mudah. Persoalannya bermuara pada kurangnya pengenalan Wayang Sasak pada institusi pendidikan sejak dini. Oleh sebab itulah perlu dipikirkan adanya sekolah/jurusan pedalangan/karawitan, seperti SMK misalnya, untuk melahirkan para dalang muda selain juga untuk mendekatkan Wayang Sasak ke generasi muda.

Di Jawa dan Bali, sebagai contoh, anak-anak sudah diperkenalkan dengan wayang sejak usia dini. Baik melalui kisah-kisah maupun penggunaan nama-nama wayang untuk berbagai nama jalan, gedung, toko maupun transport umum. Selain itu di Jawa dan Bali telah banyak memiliki sekolah seni karawitan atau pedalangan. Di Lombok, semua hal itu masih jauh dari harapan.

Jika tak ada upaya serius, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan banyolan yang mengocok perut dari para punakawan seperti Amaq Baok, Inaq Litet, Amaq Ocong, Amaq Amet, Jero Dangkem, dan Amaq Keseq hanya akan menjadi cerita pengantar tidur. Dan kita akan kehilangan legasi sang Maestro yang memiliki kontribusi penting dalam khasanah budaya Lombok.

Dahulu Wayang Sasak meredup karena karena anak-anak muda tidak mengerti bahasa Kawi dan Lalu Nasib muncul sebagai penyelamat dengan membumikan Wayang Sasak menggunakan bahasa lokal. Kini, ketika berbagai jenis hiburan digital tersedia, dan Wayang Sasak kembali terancam eksistesinya, usia Lalu Nasib sudah terlalu senja untuk kembali berdiri di depan. Kini saatnya pemerintah daerah-lah yang tampil di depan menyelamatkan Wayang Sasak.

Semoga ada yang mendengar dan tergerak.


Catatan Khusus:

H. LALU NASIB AR: MAESTRO WAYANG SASAK ditulis oleh Aini Ahmad dan pernah dimuat di Lombok Heritage Society dengan judul yang sama pada 27 Mei 2021.