Kemerdekaan, Pemerintah, Covid-19 dan Rakyat
KEMERDEKAAN
Momentum perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 jelas terasa berbeda jika dibandingkan dengan perayaan-perayaan kemerdekaan sebelum adanya Covid-19. Genap sudah dua tahun kita merayakan hari yang sangat bersejarah bagi Republik Indonesia kita tercinta ini ditengah-tengah pandemi.
Meski upacara pengibaran sang saka bendera Merah-Putih tetap dilaksanakan di istana negara dan kantor-kantor pemerintah lainnya (tentu dengan protokol kesehatan yang ketat), agaknya hari ini, kita (rakyat biasa) masih harus merayakan kemerdekaan dengan sederhana; tanpa kembang api yang meletus-letus di langit ibu kota, tanpa gegap gempita konser penyanyi dan grub band favorite kita, juga tanpa lomba-lomba.
Di desa-desa, tidak ada orang-orang ramai berkerumun menonton lomba baris berbaris atau pawai akbar seperti biasanya. Tidak ada lomba-lomba ditengah lapangan. Tidak ada lomba lari balap karung, makan kerupuk, memasukkan paku kedalam botol atau sendok telur. Tidak ada lomba bapak-bapak menggendong istri, tidak ada lomba memasak, tarik tambang sampai panjat pinang, nyaris tidak ada – sebuah ekspresi kebahagiaan, rasa syukur akan ke-mer-de-ka-an rakyat indonesia.
COVID-19
The GISAID ( Global Initiative on Sharing All Influensa Data) secara resmi mengeluarkan hasil risetnya bahwa ada 69 Negara yang sedang berjuang melawan ancaman Virus Corona. Dari 69 negara tersebut nama Indonesia masuk ke dalam Negara yang terjangkit Virus Corona.
Presiden Joko Widodo (Senin, 02 Maret 2020) mengumumkan, Virus Corona, Wuhan menjangkiti dua warga Indonesia, tepatnya di Kota Depok, Jawa Barat. Kedua orang tersebut merupakan seorang ibu (64) dan putrinya (31) yang sempat kontak dengan warga Jepang yang positif mengidap Covid-19. Warga Jepang tersebut baru terdeteksi Covid-19 di Malaisya, setelah meninggalkan Indonesia.
Kasus pertama Covid-19 di Indonesia ini didapat melalui penelusuran Kementrian Kesehatan RI. “Orang Jepang ke Indonesia bertemu siapa, ditelusuri dan ketemu. Ternyata, orang yang terkena virus corona berhubungan dengan dua orang, ibu 64 tahun dan putrinys 31 tahun,” kata Jokowi.
PEMERINTAH
Covid-19 bukanlah panyakit global pertama kali yang dihadapi Indonesia. Jauh sebelumnya, tepat pada tahun 2003 pemerintah Indonesia juga pernahberhadapan dengan penyakit Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS). Lalu, bagaimana kesiapan pemerintah dalam melawan Covid-19 ?
Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah Indonesia memiliki kesiapan dan kelengkapan yang memadaiuntuk menangani kasus virus corona pertama ini. Tak cuma itu, pemerintah juga berupaya menekan penyebaran virus corona Wuhan, yang sampai kini vaksinnya belum diketahui.
Menurut Jokowi, pemerintah telah menyiapkan lebih dari 100 rumah sakit dengan ruang isolasi untuk menangani Covid-19. Disamping itu pemerintah juga memiliki alat yang memadai sesui standar internasional.
Selain tim medis, Jokowi juga membentuk tim lain untuk menangani virus corona Wuhan. Tim ini merupakan gabungan antara TNI-POLRI serta sipil untuk melakukan penanganan di lapangan.
Singkat kata, pemerintah siap dan menjamin ketersediaan anggaran mengatasi virus corona. Mulai dari pengobatan, penanganan, dan pencegahan agar tidak menyebar.
R.A.K.Y.A.T
Beberapa waktu terakhir, kreasi mural yang menghiasi dinding-dinding dan tembok-tembok pinggir jalan santer dibicarakan masyarakat. Menjadi hangat dan menarik, barangkali disebabkan karena kreasi mural tersebut mampu mewakili keadaan bahkan suara dan perasaan masyarakat.
Sebut saja sebuah tulisan “Tuhan Aku Lapar” di sebuah tembok pinggir jalan yang menyita perhatian dan dibagikan berulang-ulang. Kalimat “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” juga hangat diperbincangkan, bahkan sampai mural di sebuah dinding gambar mirip Presiden Jokowi dengan mata tertutup bertuliskan “404: Not Found” memenuhi layar pemberitaan. Meskipun pada gilirannya, kreasi mural (suara rakyat) yang sudah kedung viral tersebut akhirnya dihapus juga.
Ditengah situasi yang sulit ini. kita tidak ingin memperkeruh suasana dengan menyebut pemeritahan hari ini sebagai pemerintahan yang anti-kritik, atau menegaskan bahwa pemerintah tidak punya alas an untuk menghapus sebuah mural (suara rakyat) yang notabene adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Pada akhirnya, di momentum kemerdekaan dan keadaan hari ini, selain mengenang dengan sebenar-benarnya mengenang petuah Ir. Soekarno, Presiden Pertama sekalgus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, kita juga menginginkan pemerintah hari ini bisa mendengar suara rakyat, atau setidaknya; pemerintah bisa mendengar suara janjinya sendiri.
“…Diberi hak-hak atau tidak diberi hah-hak…tiap-tiap mahluk…pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu…teraniaya oleh suatu daya angkara murka!” –Bung Karno, Indonesia Menggugat.
Tentang Penulis.
Sudarman Effendi, adalah seorang pembaca dan penyendiri. Ia juga mengaku sebagai pegiat isu-isu yang tidak merepotkan.