Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

TEWASNYA MENANTU VAN HAM DI GELOGOR: (SEBUAH MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT)

TEWASNYA MENANTU VAN HAM DI GELOGOR: (SEBUAH MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT)



BAWASLIU Lombok Tengah

Oleh: Mohamad Idrus Emzet – Lombok Heritage Society

The more you know about the past, the better prepared you are for the future. ~Theodore Roosevelt ~

Penulisan sejarah perjuangan di era kolonialisme, terutama perlawanan di daerah sering kali luput dalam rekaman sejarah. Salah satunya adalah pertempuran di Cakranegara dan daerah sekitarnya yang terjadi pada malam 25 Agustus hingga 26 Agustus 1894.

Dalam tulisan ini saya akan sedikit mengenang bagaimana pertempuran di luar Cakranegara, tepatnya di sebuah kampung kecil bernama Gelogor. Kini desa ini secara administratif berada di Kecamatan Kediri, Lombok Barat. Desa ini berbatasan langsung dengan Kali Babak di sebelah utaranya, Desa Rumak di sebelah barat, desa Kediri di sebelah timur dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Omba Baru.

Walaupun kecil, namun Desa Gelogor ini sendiri mempunyai catatan sejarah yang cukup besar. Unik memang.

Sebagai contoh, pada tanggal 5 November 1950, Bung Karno datang ke desa kecil ini untuk mengunjungi seorang tokoh agama di desa ini bernama TGH. Nasrudin. Kehadiran Presiden Soekarno di Gelogor ini dibuktikan dengan foto kunjungan tersebut. Namun seperti biasa, hal-hal bersejarah seperti ini tidak tercantum dalam tulisan-tulisan sejarah secara umumnya.

Tak hanya itu saja, catatan sejarah yang ditorehkan oleh Desa Gelogor ini juga terjadi di era kolonial. Yakni pertempuran melawan pasukan Belanda yang menewaskan menantu Jenderal van Ham, yaitu Letnan Dua L.G. Musquitier.

Peristiwa heroik yang terjadi di Desa Gelogor ini bisa kita baca dalam buku De Lombok Expeditie karya Wouter Cool, terbitan Batavia 1896. Sebagai tentara yang ikut dalam Perang Lombok, Cool dengan detil menceritakan peristiwa yang terjadi di Gelogor.

Hari itu, 25 Agustus 1894, setelah melakukan marching keliling sebagaimana biasanya, pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Bijlevet yang di tempatkan di Sukarara, melewati malam dengan bermain kartu dan pesta anggur karena besok hari libur. Jam 11.30 malam mereka baru beristirahat.

Belum sempat lelap tertidur, mereka semua dibangunkan dengan kedatangan seorang mata-mata pada 01.15 lewat tengah malam. Pesannya, panglima memerintahkan mereka untuk segera kembali ke Ampenan.

Untuk kembali melanjutkan tidur, sudah tidak mungkin lagi. Pikiran mereka dipenuhi pertanyaan apa yang menyebabkan adanya perintah mendadak ini.

Dini hari itu bivak dibongkar. Perbekalan makanan untuk 6 hari ke depan yang baru tiba kemarin, dititipkan ke Guru Bangkol di Praya yang berjarak satu setengah jam perjalanan.

Perjalanan kembali ke Mataram dimulai jam 9 pagi, tapi baru jam 1 siang mereka tiba di Kediri. Lambatnya pergerakan ini disebabkan karena mereka telah letih dengan marching yang dilakukan hari-hari sebelumnya. Belum lagi karena membawa peralatan tempur bukanlah hal yang mudah.

Dapat dimaklumi jika perjalanan ini lamban karena mereka terdiri dari Kompi 1 dan Kompi 3 dari Batalion 6, ditambah satu seksi artileri pegunungan, satu seksi zeni, kereta persenjataan, ambulans, seorang surveyor militer dan 4 orang tentara kaveleri.

Setiba di Kediri, di kejauhan mereka mendengar berbagai suara tembakan yang datang dari arah Cakra. Berbagai pertanyaan yang menyelimuti benak mereka terjawab dengan penjelasan dari rakyat yang mereka temui di jalan.

Mereka diberi tahu bahwa sejak tadi malam telah terjadi pertempuran di Cakra serta Mataram. Sekalipun luluh-lantak, namun dikabarkan pasukan Belanda menguasai puri. Mendengar cerita ini, komandan pasukan segera memerintahkan mereka bergerak menuju Cakra untuk menemui rekan-rekan mereka.

Pada pukul 2 siang, pasukan telah berada hanya beberapa ratus meter dari Sungai Babak. Mereka menyusuri gang kampung yang sempit melalui Desa Glogor. Di depan sebelah kiri berdiri sebuah masjid yang dikelilingi tembok dengan pintu gerbang kokoh yang terkunci rapat.

Tiba-tiba saja tembakan menyalak membabi-buta dari depan dan belakang mereka. Letnan Kolonel van Bijlevelt, sang komandan, adalah orang pertama yang tertembak dan terluka parah. Komando segera diambil alih oleh Kapten Creutz Lechleitner yang memerintahkan untuk menghujani masjid dengan tembakan karena dari masjid-lah lebih banyak tembakan berasal.

Setelah tembok yang membatasi masjid dengan jalan kecil tersebut dirobohkan oleh zeni, Letnan van Kappen dan Musquetier segera memasuki masjid bersama pasukan Eropa. Mereka mengambil posisi di bawah 2 jendela masjid dan siaga dengan revolver-nya.

Ketika Musquetier mengejar penyerang ke ruangan sebelah, sebuah peluru menembus dadanya. Letnan Dua Musquetier tewas di masjid itu.

Pasukan artileri yang telah mendapatkan posisi perlindungan yang baik berhasil mendorong mundur para penyerang ke kampung. Setelah mendapatkan celah, mereka bergerak maju.

Tentu sangat tidak mudah untuk menyeberangi sungai selebar 60 meter. Setiap orang terendam hingga pinggang di kedalaman air sungai. Kereta senjata harus diseret di dasar sungai. Senjata ditaruh di pungung keledai tapi segera dipindahkan ke atas kereta setelah berada di seberang.

Para penyerang masih terus melakukan serangan dengan memanfaatkan posisi mereka yang terlindungi, untuk menghambat pergerakan maju pasukan. Pasukan terus bergerak melewati jalan sempit yang dibatasi oleh belukar lebat yang dibaliknya terdapat gubuk-gubuk tanah maupun rumah batu yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan serangan. Setiap memasuki perkampungan, rumah-rumah ini dihujani tembakan artileri terlebih dahulu.

Di Gelogor, seluruh pergerakan pasukan ini diwarnai dengan operasi ofensif dan defensif. Serangan silih berganti datang, dari satu tempat ke tempat lain. Tak heran jika banyak anggota pasukan yang tewas dan terluka.

Belasan anggota pasukan yang tewas di Gelogor dan lebih dari 30 anggota yang terluka. Detil jumlah korban dari pasukan Belanda di Gelogor ini dapat anda lihat pada Bataviaasch Nieuwsblad edisi 05-11-1894 dan Het Nieuws van Den Dag: Kleine Courant edisi 07-12-1894, Haagsche Courant edisi 24-10-1894, Soerabaijasch Handelsblad edisi 29-11-1894, Bataviaasch Nieuwsblad edisi 03-12-1894, De Lombok Expeditie.

Jadi, melihat jumlah korban yang jatuh di pihak Belanda, apa yang terjadi di Desa Gelogor ini bukanlah peristiwa kecil. Dan sudah sepatutnya tertulis dalam catatan sejarah.

Setelah menyeberangi beberapa sungai kecil, Kampung Labu Api dan persawahan terbuka akhirnya pasukan tiba di Selatan Cakranegara. Dan di sini kembali mereka mendapat informasi dari masyarakat bahwa pasukan Belanda menguasai puri di Cakra.

Jam 5 sore mereka baru tiba di pitu selatan Cakranegara. Harapan untuk bertemu Batalion 6, justru berbuah penyergapan kembali di Cakranegara. Kembali mereka menghadapi pertempuran demi pertempuran.

Mereka harus menghabiskan 2 jam untuk maju pada jarak yang bisanya hanya ditempuh dalam 15 menit saja. Hingga akhirnya tiba 400 meter dari puri. Namun mereka sama sekali tak menemukan pasukan induk mereka. Akhirnya diputuskan untuk bergerak ke Mataram.

Di sepanjang jalan yang mereka lalui, serangan juga terus bertubi-tubi hadir. Jam 8 malam mereka tiba di sawah bekas bivak pasukan di Karang Jangkong. Alih-alih teman, malah musuh yang ditemui disana.

Setelah beberapa saat, mereka mendengar suara morse dari Batalion 6 yang datang dari Pura Dalam Karang Jangkong. Mereka pun segera bergerak kesana dan disambut dengan rasa syukur dan takjub karena mereka berhasil tiba.

Dalam pasukan yang mundur dari Sukarara ini ada 16 orang tewas, termasuk jenazah Musquetier yang mereka gotong dari Glogor. Ada 35 orang yang terluka. Ini jumlah total dari pertempuran di Glogor maupun dalam perjalanan mundur dari Cakra hingga Karang Jangkong, seperti yang dikisahkan dalam De Lombok Expeditie..

Tengah malam, sebagai persiapan mereka untuk mundur ke Ampenan pada keesokan harinya, dalam kesedihan dan keheningan mereka menggali kuburan Jenderal van Ham, Letnan Musquitier dan anggota pasukan lainnya yang tewas. Mereka beristirahat dengan damai di bawah pohon beringin besar yang menaunginya.

Referensi lain yang menceritakan kisah perlawanan heroik rakyat Gelogor ini dengan lebih detil lagi bisa anda baca juga di Haagsche Courant edisi 24-10-1894, Soerabaijasch Handelsblad edisi 29-11-1894, Bataviaasch Nieuwsblad edisi 03-12-1894 dan banyak koran lainnya. Koran-koran tersebut menceritakan isi surat Kapten Creutz Lechleitner kepada ibunda Musquitier.

Surat tersebut teranggal 4 September 1894, yang mengabarkan tentang gugurnya Musquitier serta detil peristiwa yang terjadi di Gelogor kepada ibunda Musquitier. Sebagai komandan dan atasan langsung yang berada di sana, Kapten Creutz Lechleitner mengambil tanggung jawab untuk mengabarkan berita duka tersebut.

Dalam surat itu Lechleitner juga menceritakan bahwa tanggal 26 Agustus itu adalah hari yang paling jahanam bagi mereka. Dari berbagai pertempuran sejak dari Gelogor hingga mencapai Pura Dalam Karang Jangkong, setidaknya 40 jenazah dan prajurit luka yang harus mereka angkut. Namun jumlah tersebut terus bertambah, sehingga akhirnya mereka tak mampu lagi mengangkut mereka semua. Kapten Lechleitner terpaksa memerintahkan pada petugas kesehatan untuk meninggalkan jenazah mereka yang tewas di tepi jalan.

Tapi untuk menghormati jasa-jasa serta pengorbanan Musquitier, mereka tetap membawa jenazahnya hingga kembali ke markas. Namun di Pura Dalam Karang Jangkong keputusan diambil untuk menyemayamkan jenasah Letnan Dua L.G. Musquitier berdampingan dengan mertuanya, yakni Jenderal PPH van Ham bersama para prajurit lainnya.

Jika pihak Belanda saja begitu menghormati jasa dan pengorbanan L.G. Musquitier, lantas mengapa kita tidak menghormati dan menghargai semangat juang masyarakat kita yang berani menghadapi pasukan yang persenjataannya jauh lebih modern?

Untuk mengenang heroisme pertempuran masayarakat Desa Gelogor pada 26 agustus 1894 itu, selain menyajikan data serta arsip ilmiah tentang peristiwa tersebut, Lombok Heritage Society juga menginisiasi agar masyarakat Gelogor membangun monumen perjuangan. Gayung pun bersambut. Sebagai langkah awal, masyarakat desa Gelogor dengan antusiasnya menyumbangkan sepetak lahannya untuk digunakan sebagai tempat berdirinya monumen perjuangan tersebut.

Penyerahan dokumen izin pendirian ini, sudah disampaikan pada 24 Februari 2021 oleh ahli waris dan pewakaf kepada perwakilan dari Lombok Heritage Society. Semua rancang bangun dari monumen itupun telah didesain oleh bapak Budi Hartono, alumnus ISI Yogyakarta. Semoga pembangunannya dapat segera terlaksana.

Pembangunan monumen semacam ini sejatinya mempunyai makna sangat penting. Setidaknya menjadi pemacu bagi generasi muda untuk memetik nilai-nilai dan semangat heroisme para pendahulu kita.

Keberadaan monumen yang akan dibangun ini mungkin saja yang pertama di Nusa Tenggara Barat dan yang pertama didirikan berdasarkan perlawanan rakyat berbasis desa. Tapi monumen ini bukan yang terakhir, karena tentu desa-desa lain juga perlu menggali sejarahnya lebih dalam lagi.

Semoga monumen perjuangan yang akan berdiri di Desa Gelogor ini dapat menjadi inspirasi sekaligus titik awal bagi munculnya monumen-monumen perjuangan lainnya di setiap desa yang pernah menjadi ‘locus delicti’ suatu peristiwa sejarah.

Seperti saya katakan di awal tulisan ini, buku-buku sejarah boleh saja alpa menuliskan sebuah peristiwa sejarah. Namun sebagai masyarakat yang sadar sejarah, kita harus dapat menuliskan kisah sejarah yang benar-benar pernah terjadi di desa kita dengan cara kita sendiri, yakni melalui pembangunan monumen.

Sebuah monumen juga merupakan sebuah prasasti atau catatan sejarah yang tak akan pernah hilang oleh waktu dalam memori kolektif kita.